Sabtu, 24 Agustus 2013

kera besar juga bisa berenang dan menyelam

                

                              
Untuk pertama kali, ilmuwan berhasil mendokumentasikan perilaku berenang kera. Sebelumnya, kera dianggap tidak dapat berenang.

Dokumentasi perilaku berenang kera berupa video yang merekam seekor simpanse bernama Cooper. lebih dari sekadar berenang, simpanse ini juga menyelam hingga beberapa meter di bawah permukaan air.

"Kami sangat terkejut saat simpanse Cooper menyelam beberapa kali ke sebuah kolam renang di Missouri dan terlihat sangat nyaman," kata Renato Bender, peneliti dari University of Witwatersrand.

"Ini adalah perilaku yang sangat mengejutkan bagi hewan yang semula diduga takut air," sambung Bender yang berperan mendokumentasikan perilaku ini, seperti dikutip dari Livescience, Rabu (21/8/2013).

Dokumentasi perilaku berenang lainnya adalah rekaman video seekor orangutan bernama Suryia yang hidup di Kebun Binatang Carolina Selatan. Orangutan itu berenang sejauh 12 meter tanpa asistensi.

Baik simpanse maupun orangutan berenang dengan gaya dada, membuat mereka berbeda dengan manusia yang biasanya menggunakan gaya kayuh anjing.

Peneliti menduga, gaya dada merupakan adaptasi gaya hidup simpanse dan orangutan bergelantungan di atas pohon yang mengandalkan tangan dan kaki, tidak seperti manusia yang berjalan di atas tanah dengan kaki saja.

Peneliti menyatakan bahwa hasil riset ini menggarisbawahi perlunya studi tentang perilaku berenang pada kera dan evolusinya.

"Kita masih belum tahu sejak kapan moyang manusia berenang dan menyelam secara berkala," kata Nicole Bender yang juga terlibat dokumentasi ini.

"Perilaku kera besar di air selama ini diabaikan dalam antropologi," katanya. Hasil riset ini dipublikasikan di American Journal of Physical Anthropology

Minggu, 11 Agustus 2013

mengapa burung kehilangan penis dalam proses evolusinya


Penelitian terbaru memberi penjelasan mengapa burung kehilangan penis dalam proses evolusinya.

Burung seperti ayam yang secara normal memiliki penis pada saat embrio. Namun, begitu tumbuh dewasa, penis mengalami degradasi.

Studi yang dipublikasikan di jurnal Current Biology menunjukkan, penis mengalami reduksi karena banyak burung memiliki "program" genetik yang menghentikan perkembangan penis.

Ketika penis tak berkembang, ayam mampu mengontrol reproduksinya.

Martin Cohn dari University of Florida di Gainesville yang menjadi co-author dalam publikasi penelitian ini mengatakan, "Penemuan kami menunjukkan, reduksi penis dalam evolusi burung terjadi dengan aktivasi mekanisme normal kematian sel yang terprogram di lokasi baru, ujung dari penis yang sedang tumbuh."

Tim peneliti menemukan bahwa gen yang disebut Bmp4 memainkan peranan penting dalam proses ini. Dalam perkembangan ayam, ketika gen Bmp4 aktif, perkembangan penis akan terhenti.

Sementara itu, pada bebek yang masih mempertahankan penisnya, gen tersebut tetap inaktif.

Karena tak punya penis, ayam dan burung lain yang juga tak memiliki penis harus mengembangkan cara reproduksi selain dengan penetrasi.

Baik burung jantan maupun betina memiliki pembukaan yang disebut kloaka. Ketika kloaka jantan dan betina bersentuhan, maka sperma akan ditransfer. Mekanisme transfer sperma ini sering disebut "ciuman kloaka".

Meski sebab reduksi penis mampu diuraikan, alasan mengapa banyak burung harus tak memilikinya masih menjadi misteri. Pimpinan studi, Anna Herrera, dari University of Florida, berspekulasi bahwa hilangnya penis terkait upaya kontrol reproduksi.

"Genitalia lebih sering terdampak cacat lahir daripada organ lainnya," kata Cohn seperti dikutip BBC, Kamis (6/6/2013).

"Membedah basis molekuler dari variasi natural yang dipicu oleh evolusi bisa membantu penemuan mekanisme baru perkembangan embrio yang tak terduga," lanjut Cohn.

"Ini tak hanya membuka kesempatan bagi kita untuk memahami bagaimana evolusi bekerja, tetapi juga memperoleh pandangan baru tentang sebab malformasi," pungkasnya.

                    

Mikroba Rushing Fireball




Mikroba rushing fireball adalah makhluk yang mampu bertahan dalam kondisi panas ekstrem. Makhluk ini masih mampu hidup meskipun berada dalam panas 100 derajat celsius.

Makhluk bernama Pyrococcus furiosus ini pertama kali ditemukan oleh Karl Stetter di geotermal panas sedimen laut di Vulcano Island, Italia.

Russell mcLendon dalam Mother Earth News melaporkan bahwa para peneliti kini tengah mengembangkan jenis mikroba rushing fireball yang mampu bertahan di kondisi lebih dingin serta memiliki "selera" terhadap karbondioksida. Makhluk tiruan ini nantinya akan dimanfaatkan untuk menjadi bahan bakar

Bakteri tahan radiasi

Bakteri tahan radiasi itu adalah Dienococcus radiodurans. Bakteri ini ditemukan hampir lima puluh tahun yang lalu dalam sebuah daging yang sudah disterilkan dengan radiasi.

Ketika terpapar radiasi, tubuh Dienococcus radiodurans akan pecah, tetapi ia akan mampu kembali lagi ke bentuk semula.

Guiness World Record mencatat bakteri yang juga disebut mikroba Lazurus ini sebagai makhluk hidup paling tahan radiasi. Makhluk ini mampu menahan paparan radiasi 3.000 kali lebih banyak dari yang mampu diterima manusia.

Bakteri tahan radiasi ini kini tengah dikembangkan oleh para peneliti. Mereka memikirkan kemungkinan memanfaatkan bakteri ini untuk melindungi manusia dari paparan radiasi yang berasal dari kemoterapi dan sinar Matahari

Langkah-langkah dalam penulisan karya ilmiah

Dalam pembuatan sebuah karya ilmiah dibutuhkan beberapa tahapan - tahapan, diantaranya yaitu : tahap persiapan, tahap penulisan dan tahap evaluasi.
A. Tahap Persiapan
1. Memilih Topik dan Tema
Topik (bahasa Yunani:topoi) adalah inti utama dari seluruh isi tulisan yang hendak disampaikan atau lebih dikenal dengan dengan topik pembicaraan. Topik adalah hal yang pertama kali ditentukan ketika penulis akan membuat tulisan. Wahab (1994:4) menyebutkan bahwa yang dimaksud topik adalah bidang medan atau lapangan masalah yang akan digarap dalam karya tulis atau penelitian. Sementara itu, tema diartikan sebagai pernyataan sentral atau pernyataan inti tentang topik yang akan ditulis. Topik yang memang masih terlalu luas harus dibatasi menjadi sebuah tema.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan topik adalah :
a. Isu-isu yang masih hangat.
b. Peristiwa-peristiwa nasional atau internasional.
c. Sesuatu (benda, karya, orang, dan lain-lain) yang dikaitkan dengan permasalahan politik, pendidikan, agama, dan lain-lain.
d. Pengalaman-pengalaman pribadi yang berbobot.
2. Mengumpulkan Bahan
Setelah memilih topik dan menentukan tema penulisan, penulis mulai mengumpulkan bahan. Bahan bisa didapatkan dari berbagai media cetak maupun elektronika. Bahan-bahan tersebut dikumpulkan terutama yang relevan dengan topik dan tema yang akan ditulis. Pemilihan bahan yang relevan ini bisa dengan cara membaca atau mempelajari bahan secara sepintas serta menilai kualitas isi bahan. Bahan yang sudah terkumpul tersebut bisa dimanfaatkan untuk memperkaya pengetahuan penulis dan sebagai landasan teoretis dari karya tulis tersebut.
3. Survei Lapangan
Langkah ini adalah melakukan pengamatan atas obyek yang diteliti. Menetapkan masalah dan tujuan yang akan diteliti dan dijadikan karya ilmiah. Langkah ini merupakan titik acuan Anda dalam proses penulisan atau penelitian.
4.  Membangun Bibliografi
Bibliografi berarti kegiatan teknis membuat deskripsi untuk suatu cantuman tertulis atau pustaka yang telah diterbitkan, yang tersusun secara sistematik berupa daftar menurut aturan yang dikehendaki. Dengan demikian tujuan bibliofrafi adalah untuk mengetahui adanya suatu buku/pustaka atau sejumlah buku/pustaka yang pernah diterbitkan.
Unsur-Unsur Bibliografi dan Contoh Penulisannya :
a. Nama Pengarang, yang dikutip secara lengkap
b. Judul Buku, termasuk judul tambahannya.
c. Data Publikasi: penerbit, tempat terbit, tahun terbit, cetakan ke berapa, nomor jilid buku dan tebal (jumlah halaman) buku tersebut.
d. Untuk sebuah artikel diperlukan pula judul artikel yang bersangkutan, nama majalah, atau surat kabar, tanggal dan tahun.
Penyusunan Bibliografi :
a. Nama pengarang diurutkan berdasarkan urutan abjad.
b. Jika tidak ada nama pengarang, judul buku atau artikel yang dimasukkan dalam urutan abjad.
c. Jika untuk seorang pengarang terdapat lebih dari satu bahan refrensi, untuk refrensi kedua dan seterusnya, nama pengarang tidak diikutsertakan, tetapi diganti dengan garis sepanjang 5 atau 7 ketikan.
d. Jarak antara baris dengan baris untuk satu refrensi adalah satu spasi. Namun, jarak antara pokok dengan pokok lain adalah dua spasi.
e. Baris pertama dimulai dari margin kiri. Baris kedua dan seterusnya dari tiap pokok harus dimasukkan ke dalam sebanyak tiga atau empat ketikan.
5. Menyusun Hipotesis
Langkah ini adalah menyusun dugaan-dugaan yang menjadi penyebab dari obyek penelitian Anda. Hipotesis ini merupakan prediksi yang ditetapkan ketika Anda mengamati obyek penelitian.
6. Menyusun Rancangan Penelitian
Merupakan kerangka kerja bagi penelitian yang dilakukan. Menyusun rancangan penelitian sebagai langkah ketiga dari langkah-langkah menulis karya ilmiah. Ini merupakan kerangka kerja bagi penelitian yang dilakukan.
7. Melaksanakan Percobaan Berdasarkan Metode yang Direncanakan
Langkah ini merupakan kegiatan nyata dari proses penelitian dalam bentuk percobaan terkait penelitian yang dilakukan. Anda lakukan percobaan yang signifikan dengan obyek penelitian
8. Melaksanakan Pengamatan dan Pengumpulan Data
Setelah melakukan percobaan atas obyek penelitian dengan metode yang direncanakan, maka selanjutnya Anda melakukan pengamatan terhadap obyek percobaan yang dilakukan tersebut.
9. Menganalisis dan Menginterpretasikan Data
Langkah ini menganalisa dan menginterpretasikan hasil pengamatan yang sudah dilakukan. Anda coba untuk menginterpretasikan segala kondisi yang terjadi pada saat pengamatan. Di langkah inilah Anda mencoba untuk meneliti dan memperkirakan apa yang terjadi dari pengamatan dan pengumpulan data.
10. Merumuskan Kesimpulan dan Teori
Langkah ini merumuskan kesimpulan atau teori mengenai segala hal yang terjadi selama percobaan, pengamatan, penganalisaan dan penginterpretasian data. Langkah ini mencoba untuk menarik kesimpulan dari semua yang didapatkan dari proses percobaan, pengamatan, penganalisaan, dan penginterpretasian terhadap obyek penelitian.
B. Tahap Penulisan
Format Umum Penulisan Karya Ilmiah :
  • Bagian Permulaan
    1. Halaman Sampul
      • Judul
      • Jenis laporan (KTI, skripsi, tesis, disertasi)
      • Nama, NIM Mahasiswa
      • Lambang Institusi
      • Nama Lengkap Universitas
    2. Halaman logo
    3. Halaman Judul (sama dengan halaman sampul)
      Penulisan judul jika lebih dari 1 baris maka ditulis seperti piramida terbalik
    4. Halaman Persetujuan
      • Persetujuan Pembimbing
      • Pengesahan untuk para penguji
    5. Kata Pengantar
    6. Ucapan Terimakasih
    7. Abstrak
    8. Daftar Isi
    9. Daftar tabel, gambar dan lampiran
  • Bagian Isi
    1. Pendahuluan
      • Latar belakang pengambilan topik
      • Perumusan masalah
      • Tujuan
        *Umum
        *Khusus
      • Manfaat Penelitian
    2. Kerangka Teori/Tinjauan Pustaka
    3. Kerangka Konsep
      • Diagram kerangka konsep
      • Hipotesa
      • Defenisi operasional
    4. Metodologi Penelitian
      • Rancangan/desain penelitian
      • Populasi
      • Pengambilan sampel
      • Cara pengolahan data
    5. Hasil Penelitian
      • Penguraian hasil penelitian
    6. Pembahasan
      • Mebahas hasil penelelitian berdasarkan tinjauan kepustakaan yang telah dibuat
    7. Kesimpulan
    8. Saran
C. Tahap Evaluasi
Tahap evaluasi ini bertujuan untuk memeriksa kembali tulisan yang telah jadi ataupun memperbaiki berbagai kesalahan dan kekurangan dalam karya tulis. Hal yang harus menjadi perhatian diantaranya yaitu isi artikel, sistematika penyajian dan bahasa yang digunakan.

Sabtu, 10 Agustus 2013







KENTUT SAPI SEBABKAN GLOBAL WARMING

             

                     

Alaram tanda bahaya pada bumi telah berdering.

dewasa ini banyak sekali permasalahan-permasalahan yang menimpa bumi,terutama masalah lingkungan.tentunya kita tidak asing lagi yang namanya pemanasan global(Global Warming) banyak faktor penyebab global warming, salah satunya pada sektor peternakan,khususnya peternakan sapi


 

Sapi termasuk hewan mamalia dari familia Bovidae dan subfamilia Bovinae. Sapi dipelihara untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya sebagai bahan pangan. Kotoran sapi pun kini telah dimanfaatkan sebagai pupuk organik, sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil yang sudah mulai langka, bahkan sebagai media pembenihan cacing tanah, yang nantinya digunakan sebagai bahan obat.

Tapi tahukah Anda, bahwa selama ini sapi ternyata menjadi salah satu penyebab global warming?
Sejak dulu kita hanya menyalahkan CO2, CO, atau CFC sebagai biang kerok penyebab global warming, padahal ada beberapa biang keladi lain penyebab global warming, salah satunya adalah gas metana.

Gas Metana Sangat Berbahaya
Mungkin belum banyak orang yang tahu tentang gas metana. Metana adalah gas anaerobik yang dihasilkan dari aktivitas mikroorganisme saat menguraikan bahan-bahan organik. Perlu diketahui bahwasanya gas metana mengandung emisi efek rumah kaca 23 kali lebih ganas ketimbang dengan gas CO2. Gas metana dihasilkan melalui proses yang berlangsung secara alamiah. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan jumlah gas metana selain yang tersimpan di dasar laut pada kutub bumi adalah meningkatnya populasi ternak.

Selama ini ternyata sapi merupakan salah satu hewan ternak penyumbang terbesar gas metana. Sistem pencernaan sapi yang sangat lambat menjadi alasan mengapa binatang itu menghasilkan banyak gas metana, khususnya pada kentut sapi. Gas metana memiliki potensi menghasilkan efek rumah kaca seperti halnya gas CO2,bahkan lebih ganas 23 kalinya.

Pernah dilakukan suatu penelitian yang dilakukan oleh seorang yang berasal dari Argentina, bahwasanya didapatkan fakta kalau gas metana dari sapi menyumbang lebih dari 30% total emisi penyebab efek rumah kaca negara Argentina. Sebagai salah satu negara penghasil daging sapi terbesar di dunia, Argentina mempunyai lebih dari 55 juta ekor sapi yang merumput di daerah Pampas.

Dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang mengkonsumsi banyak daging sapi, maka orang tersebut secara tidak langsung telah ikut menciptakan global warming. Hal ini mengindikasikan bahwa pola hidup seseorang akan mempunyai pengaruh besar terhadap keselamatan, atau bahkan kehancuran bumi sekalipun.
Mari Memanfaatkannya

Sudah saatnya kita membiasakan diri untuk hidup sehat dan ramah lingkungan. Kalau tidak dimulai sekarang, mau kapan lagi, apakah kita mau menunggu sampai bumi kita benar-benar hancur?
Kita sebagai mahasiswa biologi harusnya peka terhadap situasi yang semakin parah seperti ini. Apalagi kita sebagai mahasiswa yang tergabung di dalam KIMBI yang notabene merupakan komunitas yang berbasis sains dan teknologi. Sebagai “engineer” layaknya kita bisa menciptakan suatu ide-ide kreatif atau suatu alat yang bisa memanfaatkan kotoran sapi tersebut yang mengandung gas metana sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil yang sudah langka. Memang dalam waktu dekat ini, bahan bakar alternatif dari kotoran sapi menjadi booming.Selain hal tersebut, seperti yang sudah dijelaskan tadi kotoran sapi juga bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik, dan sebagai media untuk pembenihan cacing tanah yang nantinya digunakan untuk obat.
Dibalik bahaya yang dihasilkan oleh sapi (kotorannya), ternyata ada juga manfaat yang besar dari itu semua. Sekarang tinggal bagaimana kita menyikapi hal tersebut, kalau kita benar-benar mau berusaha menjaga bumi ini, tidaklah ada sesuatu hal yang tidak mungkin.

Ilmuwan Muda.!
Berkontribusi!!!!
Foto: KENTUT SAPI SEBABKAN GLOBAL WARMING!!" Alarm tanda bahaya pada bumi telah berdering kencang. Dewasa ini banyak sekali permasalahan-permasalahan yang menimpa bumi ini, terutama masalah lingkungan. Tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan yang namanya Pemanasan Global (Global Warming). Banyak faktor penyebab global warming, salah satunya adalah pada sektor peternakan, khususnya peternakan sapi. Sapi termasuk hewan mamalia dari familia Bovidae dan subfamilia Bovinae. Sapi dipelihara untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya sebagai bahan pangan. Kotoran sapi pun kini telah dimanfaatkan sebagai pupuk organik, sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil yang sudah mulai langka, bahkan sebagai media pembenihan cacing tanah, yang nantinya digunakan sebagai bahan obat. Tapi tahukah Anda, bahwa selama ini sapi ternyata menjadi salah satu penyebab global warming? Sejak dulu kita hanya menyalahkan CO2, CO, atau CFC sebagai biang kerok penyebab global warming, padahal ada beberapa biang keladi lain penyebab global warming, salah satunya adalah gas metana. Gas Metana Sangat Berbahaya Mungkin belum banyak orang yang tahu tentang gas metana. Metana adalah gas anaerobik yang dihasilkan dari aktivitas mikroorganisme saat menguraikan bahan-bahan organik. Perlu diketahui bahwasanya gas metana mengandung emisi efek rumah kaca 23 kali lebih ganas ketimbang dengan gas CO2. Gas metana dihasilkan melalui proses yang berlangsung secara alamiah. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan jumlah gas metana selain yang tersimpan di dasar laut pada kutub bumi adalah meningkatnya populasi ternak. Selama ini ternyata sapi merupakan salah satu hewan ternak penyumbang terbesar gas metana. Sistem pencernaan sapi yang sangat lambat menjadi alasan mengapa binatang itu menghasilkan banyak gas metana, khususnya pada kentut sapi. Gas metana memiliki potensi menghasilkan efek rumah kaca seperti halnya gas CO2,bahkan lebih ganas 23 kalinya. Pernah dilakukan suatu penelitian yang dilakukan oleh seorang yang berasal dari Argentina, bahwasanya didapatkan fakta kalau gas metana dari sapi menyumbang lebih dari 30% total emisi penyebab efek rumah kaca negara Argentina. Sebagai salah satu negara penghasil daging sapi terbesar di dunia, Argentina mempunyai lebih dari 55 juta ekor sapi yang merumput di daerah Pampas. Dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang mengkonsumsi banyak daging sapi, maka orang tersebut secara tidak langsung telah ikut menciptakan global warming. Hal ini mengindikasikan bahwa pola hidup seseorang akan mempunyai pengaruh besar terhadap keselamatan, atau bahkan kehancuran bumi sekalipun. Mari Memanfaatkannya Sudah saatnya kita membiasakan diri untuk hidup sehat dan ramah lingkungan. Kalau tidak dimulai sekarang, mau kapan lagi, apakah kita mau menunggu sampai bumi kita benar-benar hancur? Kita sebagai mahasiswa biologi harusnya peka terhadap situasi yang semakin parah seperti ini. Apalagi kita sebagai mahasiswa yang tergabung di dalam KIMBI yang notabene merupakan komunitas yang berbasis sains dan teknologi. Sebagai “engineer” layaknya kita bisa menciptakan suatu ide-ide kreatif atau suatu alat yang bisa memanfaatkan kotoran sapi tersebut yang mengandung gas metana sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil yang sudah langka. Memang dalam waktu dekat ini, bahan bakar alternatif dari kotoran sapi menjadi booming.Selain hal tersebut, seperti yang sudah dijelaskan tadi kotoran sapi juga bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik, dan sebagai media untuk pembenihan cacing tanah yang nantinya digunakan untuk obat. Dibalik bahaya yang dihasilkan oleh sapi (kotorannya), ternyata ada juga manfaat yang besar dari itu semua. Sekarang tinggal bagaimana kita menyikapi hal tersebut, kalau kita benar-benar mau berusaha menjaga bumi ini, tidaklah ada sesuatu hal yang tidak mungkin. Ilmuwan Muda.! Berkontribusi!!!!

PUBLIKASI ILMIAH SEBAGAI PRODUK UTAMA AKTIFITAS PENELITIAN ILMIAH

          Publikasi Ilmiah merupakan salah satu produk utama aktivitas penelitian ilmiah di samping potensi
aplikasi pengetahuan ilmiah yang dihasilkan dalam bentuk teknologi. Oleh karena itu, aktivitas penelitian dapat dipandang sebagai ujung tombak yang bermata dua yang di satu sisi menghasilkan pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) mengenai fenomena alam (discovery) sedangkan di sisi lain pengetahuan tersebut dapat memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi teknologi (invention) yang mampu menghasilkan produk dan atau jasa (goods & service).

Kedua produk penelitian ilmiah tersebut sangat berkaitan erat antara satu dengan yang lain karena di satu pihak, pengetahuan ilmiah yang ditemukan dapat membuka peluang untuk menghasilkan teknologi tetapi di pihak lain, teknologi yang dihasilkan pada gilirannya dapat pula memberikan umpan balik untuk mendorong kecanggihan penelitian ilmiah dalam melakukan penemuan mengenai penjelasan fenomena alam selanjutnya.

Hal tersebut disampaikan oleh Langkah Sembiring, M.Sc., Ph.D. dari fakultas Biologi UGM pada Seminar Nasional (Semnas) Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA di kampus FMIPA UNY, Sabtu, 2/6. Semnas diikuti oleh sekitar 216 peserta dari berbagai daerah.

Pada makalahnya yang berjudul Publikasi Ilmiah sebagai Produk Utama Aktivitas Penelitian Ilmiah, Langkah Sembiring mengatakan, adanya kerancuan ekspektasi terhadap produk penelitian muncul sebagai akibat ketidakjelasan pemahaman mengenai hakekat produk penelitian khususnya basic science sehingga berakibat adanya penyikapan yang kurang proporsional.

“Oleh karena itu, perlu diuraikan secara jelas dan tegas mengenai hakekat produk penelitian agar dapat dipahami dengan lebih jelas dan tidak menimbulkan kerancuan dalam penyikapan. Dengan demikian, apresiasi terhadap produk penelitian, penelitian basic science pada khususnya, baik dalam bentuk publikasi ilmiah maupun berupa teknologi dapat diberikan secara lebih proporsional dan substansial sesuai dengan hakekatnya masing-masing,” lanjutnya.

Di satu sisi, perbedaan antara kedua aspek produk penelitian ilmiah tersebut sangat perlu disadari oleh semua pihak sehingga para peneliti dapat menyikapi secara proporsional dan aktivitas penelitian ilmiah dapat lebih fokus dalam mencapai tujuannya masing-masing secara lebih efektif dan efisien kendatipun keduanya sangat terkait secara erat. Di sisi lain, pemisahan secara kaku antara ilmu dan teknologi juga dapat bersifat mengekang (counterproductive) karena keterkaitan antar keduanya yang jelas saling mendukung dan bersifat dinamis.

Dijelaskan, ketidakjelasan pemahaman mengenai perbedaan tujuan utama antara ilmu (science) dan teknologi (technology) misalnya, seringkali menimbulkan kerancuan dalam menilai capaian suatu aktivitas penelitian ilmiah dan bermuara pada kurangnya apresiasi terhadap temuan ilmiah (scientific discovery) yang berupa publikasi ilmiah. Sebagai konsekuensinya, gairah melakukan penelitian yang mampu menghasilkan produk berupa publikasi ilmiah menjadi kurang berkembang. Rendahnya apresiasi terhadap publikasi ilmiah mungkin telah berperan dalam menimbulkan kerancuan pemahaman mengenai tujuan utama publikasi ilmiah.

Sebagai contoh, peneliti menjadi lebih bersikap pragmatis sehingga tujuan utama publikasi ilmiah seolah-olah hanyalah untuk memenuhi persyaratan kenaikan pangkat yang lebih bersifat adminsitratif dari pada substantif. Padahal untuk dapat menghasilkan publikasi ilmiah yang berkualitas, seorang peneliti selain harus memiliki semangat kerja keras juga dituntut selalu mengasah ketrampilan menulis publikasi ilmiah (scientific writing). “Jadi, perlu disosialisasikan secara gencar kepada semua pihak bahwa fungsi utama publikasi ilmiah dalam basic science adalah untuk pengembangan ilmu sedangkan penelitian dalam ilmu terapan (applied science) bertujuan untuk menghasilkan produk berpotensi komersial yang justru tidak akan dipublikasikan melainkan akan dipatenkan,” tambahnya.